PENGENDALIAN SOSIAL
Dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang semua anggota masyarakat
bersedia menaati aturan yang berlaku, hampir bisa dipastikan kehidupan
bermasyarakat akan bisa berlangsung dengan lancar dan tertib. Tetapi, berharap
semua anggota masyarakat bisa berperilaku selalu taat, tentu merupakan hal yang
mahal. Di dalam kenyataan, tentu tidak semua orang akan selalu bersedia dan
bisa memenuhi ketentuan atau aturan yang berlaku dan bahkan tidak jarang ada
orang-orang tertentu yang sengaja melanggar aturan yang berlaku untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Secara rinci, beberapa faktor yang menyebabkan warga masyarakat
berperilaku menyimpang dari norma-norma yang berlaku adalah sebagai berikut (
Soekanto, 181:45):
1. Karena kaidah-kaidah yang ada tidak memuaskan bagi pihak
tertentu atau karena tidah memenuhi kebutuhan dasarnya.
2. Karena kaidah yang ada kurang jelas
perumusannya sehingga menimbulkan aneka penafsiran dan penerapan.
3. Karena di dalam masyarakat terjadi
konflik antara peranan-peranan yang dipegang warga masyarakat, dan
4. Karena memang tidak mungkin untuk
mengatur semua kepentingan warga masyarakat secara merata.
Pada situasi di mana orang memperhitungkan
bahwa dengan melanggar atau menyimpangi sesuatu norma dia malahan akan bisa
memperoleh sesuatu reward atau sesuatu keuntungan lain yang lebih besar, maka
di dalam hal demikianlah enforcement demi tegaknya norma lalu terpaksa harus
dijalankan dengan sarana suatu kekuatan dari luar. Norma tidak lagi self-enforcing
(norma-norma sosial tidak lagi dapat terlaksana atas kekuatannya sendiri ), dan
akan gantinya harus dipertahankan oleh petugas-petugas kontrol sosial dengan
cara mengancam atau membebankan sanksi-sanksi kepada mereka-mereka yang
terbukti melanggar atau menyimpangi norma.
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Apabila ternyata norma-norma tidak lagi self-enforcement dan proses sosialisasi tidak cukup memberikan efek-efek yang positif, maka masyarakat – atas dasar kekuatan otoritasnya – mulai bergerak melaksanakan kontrol sosial (social control).
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian
sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang
bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengawasan sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri.
Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat berlangsung menurut
pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama. Dengan demikian,
pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak
direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang. Juga pengendalian sosiap
pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan
memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial.
1. Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam
diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai
dengan norma-norma.
2. Sistem mengajak bertujuan mengarahkan
agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan
individu-individu.
3. Sistem memaksa bertujuan untuk
mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma.
Bila ia tidak mau menaati kaiah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat
pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni :
1. Pengendalian kelompok terhadap kelompok
2. Pengendalian kelompok terhadap
anggota-anggotanya
3. Pengendalian pribadi terhadap pribadi
lainnya.
JENIS-JENIS PENGENDALIAN SOSIAL
Pengendalian sosial dimaksudkan agar
anggota masyarkat mematuhi norma-norma sosial sehingga tercipta keselarasan
dalam kehidupan sosial. Untuk maksud tersebut, dikenal beberapa jenis
pengendalian. Penggolongan ini dibuat menurut sudut pandang dari mana seseorang
melihat pengawasan tersebut.
a. Pengendalian preventif merupakan kontrol
sosial yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran atau dalam versi
”mengancam sanksi” atau usaha pencegahan terhadap terjadinya penyimpangan
terhadap norma dan nilai. Jadi, usaha pengendalian sosial yang bersifat
preventif dilakukan sebelum terjadi penyimpangan.
b. Pengendalian represif ; kontrol sosial
yang dilakukan setelah terjadi pelanggaran dengan maksud hendak memulihkan
keadaan agar bisa berjalan seperti semula dengan dijalankan di dalam versi
“menjatuhkan atau membebankan, sanksi”. Pengendalian ini berfungsi untuk
mengembalikan keserasian yang terganggu akibat adanya pelanggaran norma atau
perilaku meyimpang. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, perlu diadakan
pemulihan. Jadi, pengendalian disini bertujuan untuk menyadarkan pihak yang
berperilaku menyimpang tentang akibat dari penyimpangan tersebut, sekaligus
agar dia mematuhi norma-norma sosial.
c. Pengendalian sosial gabungan merupakan
usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan (preventif)
sekaligus mengembalikan penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma-norma
sosial (represif). Usaha pengendalian dengan memadukan ciri preventif dan
represif ini dimaksudkan agar suatu perilaku tidak sampai menyimpang dari
norma-norma dan kalaupun terjadi penyimpangan itu tidak sampai merugikan yang
bersangkutan maupun orang lain.
d. Pengendalian resmi (formal) ialah
pengawasan yang didasarkan atas penugasan oleh badan-badan resmi, misalnya
negara maupun agama.
e. Pengawasan tidak resmi (informal)
dilaksanakan demi terpeliharanya peraturan-peraturan yang tidak resmi milik
masyarakat. Dikatakan tidak resmi karena peraturan itu sendiri tidak dirumuskan
dengan jelas, tidak ditemukan dalam hukum tertulis, tetapi hanya diingatkan
oleh warga masyarakat.
f. Pengendalian institusional ialah
pengaruh yang datang dari suatu pola kebudayaan yang dimiliki lembaga
(institusi) tertentu. Pola-pola kelakuan dan kiadah-kaidah lembaga itu tidak
saja mengontrol para anggota lembaga, tetapi juga warga masyarakat yang berada
di luar lembaga tersebut.
g. Pengendalian berpribadi ialah pengaruh
baik atau buruk yang datang dari orang tertentu. Artinya, tokoh yang
berpengaruh itu dapat dikenal. Bahkan silsilah dan riwayat hidupnya, dan
teristimewa ajarannya juga dikenal.
CARA DAN FUNGSI PENGENDALIAN SOSIAL
Cara Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial dapat dilaksanakan
melalui :
1. Sosialisasi
Sosialisasi dilakukan agar anggota
masyarkat bertingkah laku seperti yang diharapkan tanpa paksaan. Usaha
penanaman pengertian tentang nilai dan norma kepada anggota masyarakat
diberikan melakui jalur formal dan informal secara rutin.
2. Tekanan
Sosial
Tekanan sosial perlu dilakukan agar
masyarakat sadar dan mau menyesuaikan diri dengan aturan kelompok. Masyarakat
dapat memberi sanksi kepada orang yang melanggar aturan kelompok tersebut.
Pengendalian sosial pada kelompok primer
(kelompok masyarkat kecil yang sifatnya akrab dan informal seperti keluarga,
kelompok bermain, klik ) biasanya bersifat informal, spontan, dan tidak
direncanakan, biasanya berupa ejekan, menertawakan, pergunjingan (gosip) dan
pengasingan.
Pengendalian sosial yang diberikan kepada
kelompok sekunder (kelompok masyarkat yang lebih besar yang tidak bersifat
pribadi (impersonal) dan mempunyai tujuan yang khusus seperti serikat buruh,
perkumpulan seniman, dan perkumpulan wartawan ) lebih bersifat formal. Alat
pengendalian sosial berupa peraturan resmi dan tata cara yang standar, kenaikan
pangkat, pemberian gelar, imbalan dan hadiah dan sanksi serta hukuman formal.
3. Kekuatan
dan kekuasaan dalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal
Kekuatan da kekuasaan akan dilakukan jika
cara sosialisasi dan tekanan sosial gagal. Keadaan itu terpaksa dipergunakan
pada setiap masyarakat untuk mengarahkan tingkah laku dalam menyesuaikan diri
dengan nilai dan norma sosial.
Disamping cara di atas juga agar proses
pengendalian berlangsung secara efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan,
perlu dberlakukan cara-cara tertentu sesuai dengan kondisi budaya yang berlaku.
a. Pengendalian tanpa kekerasan (persuasi);
bisasanya dilakukan terhadap yang hidup dalam keadaan relatif tenteram.
Sebagian besar nilai dan norma telah melembaga dan mendarah daging dalam diri
warga masyarakat.
b. Pengendalian dengan kekerasan (koersi) ;
biasanya dilakukan bagi masyarakat yang kurang tenteram, misalnya GPK (Gerakan
Pengacau Keamanan).
Jenis pengendalian dengan kekerasan dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yakni kompulsi dan pervasi.
1) Kompulsi (compulsion) ialah pemaksaan terhadap seseorang agar taat dan patuh
tehadap norma-norma sosial yang berlaku.
2) Pervasi ( pervasion ) ialah penanaman norma-norma yang ada secara berulang
-ulang dengan harapan bahwa hal tersebut dapat masuk ke dalam kesadaran
seseorang. Dengan demikian, orang tadi akan mengubah sikapnya. Misalnya,
bimbingan yang dilakukan terus menerus.
Fungsi Pengendalian Sosial
Koentjaraningrat menyebut
sekurang-kurangnya lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu :
a. Mempertebal
keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma.
b. Memberikan
imbalan kepada warga yang menaati norma.
c. Mengembangkan
rasa malu
d. Mengembangkan
rasa takut
e. Menciptakan
sistem hukum
Kontrol sosial – di dalam arti
mengendalikan tingkah pekerti-tingkah pekerti warga masyarakat agar selalu
tetap konform dengan keharusan-keharusan norma-hampir selalu dijalankan dengan
bersarankan kekuatan sanksi (sarana yang lain:pemberian incentive positif).
Adapun yang dimaksud dengan sanksi dalam sosiologi ialah sesuatu bentuk
penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat kepada seorang warga
masy arakat yang terbukti melanggar atau menyimpangi keharusan norma sosial,
dengan tujuan agar warga masyarakat ini kelak tidak lagi melakukan pelanggaran
dan penyimpangan terhadap norma tersebut.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu :
1. Sanksi
yang bersifat fisik,
2. Sanksi
yang bersifat psikologik, dan
3. Sanksi
yang bersifat ekonomik.
Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi
tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa
bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara
kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai
sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena
terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan
sanksi ekonomik ( karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna
menghasilkan uang dan kekayaan ).
Sementara itu, untuk mengusahakan
terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan
menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan
membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang
salah, Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, pun incentive itu bisa
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
1. Incentive
yang bersifat fisik;
2. Incentive
yang bersifat psikologik; dan
3. Incentive
yang bersif ekonomik.
Incentive fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta pula tidak begitu mudah diadakan. Pun, andaikata bisa diberikan, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah incentive ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
Apakah kontrol sosial itu selalu cukup
efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat agar selalu conform
dengan norma-norma sosial (yang dengan demikian menyebabkan masyarakat selalu
berada di dalam keadaan tertib ) ? Ternyata tidak. Usaha-usaha kontrol sosial
ternyata tidak berhasil menjamin terselenggaranya ketertiban masyarakat secara
mutlak, tanpa ada pelanggaran atau penyimpangan norma-norma sosial satu
kalipun.
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
Ada lima faktor yang ikut menentukan sampai seberapa jauhkah sesungguhnya sesuatu usaha kontrol sosial oleh kelompok masyarakat itu bisa dilaksanakan secara efektif, yaitu :
1. Menarik-tidaknya kelompok masyarakat itu
bagi warga-warga yang bersangkutan ;
2. Otonom-tidaknya kelompok masyarakat itu;
3. Beragam-tidaknya norma-norma yang
berlaku di dalam kelompok itu,
4. Besar-kecilnya dan bersifat
anomie-tidaknya kelompok masyarakat yang bersangkutan; dan
5. Toleran-tidaknya sikap petugas kontrol
sosial terhadap pelanggaran yang terjadi.
1. Menarik-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu
Bagi Warga yang Bersangkutan.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Pada umumnya, kian menarik sesuatu kelompok bagi warganya, kian besarlah efektivitas kontrol sosial atas warga tersebut, sehingga tingkah pekerti-tingkah pekerti warga itu mudah dikontrol conform dengan keharusan-keharusan norma yang berlaku. Pada kelompok yang disukai oleh warganya, kuatlah kecendrungan pada pihak warga-warga itu untuk berusaha sebaik-baiknya agar tidak melanggar norma kelompok. Norma-norma pun menjadi self-enforcing. Apabila terjadi pelanggaran, dengan mudah si pelanggar itu dikontrol dan dikembalikan taat mengikuti keharusan norma. Sebaliknya, apabila kelompok itu tidak menarik bagi warganya, maka berkuranglah motif pada pihak warga kelompok untuk selalu berusaha menaati norma-norma sehingga karenanya-bagaimanapun juga keras dan tegasnya kontrol sosial dilaksanakan-tetaplah juga banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
2. Otonom-Tidaknya Kelompok Masyarakat Itu.
Makin otonom suatu kelompok, makin
efektiflah kontrol sosialnya, dan akan semakin sedikitlah jumlah
penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di atas
norma-norma kelompok. Dalil tersebut diperoleh dari hasil studi Marsh.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
Penyelidikan Marsh ini dapat dipakai sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan mengapa kontrol sosial efektif sekali berlaku di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-kecil dan terpencil; dan sebaliknya mengapa di dalam masyarakt kota besar-yang terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial besar maupun kecil itu – kontrol sosial bagaimanapun juga kerasnya dilaksanakan tetap saja kurang efektif menghadapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Beragam-Tidaknya Norma-norma yang
Berlaku di dalam Kelompok Itu
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Makin beragam macam norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok-lebih-lebih apabila antara norma-norma itu tidak ada kesesuaian, atau apabila malahan bertentangan-maka semakin berkuranglah efektivitas kontrol sosial yang berfungsi menegakkannya. Dalil ini pernah dibuktikan di dalam sebuah studi eksperimental yang dilakukan oleh Meyers.
Dihadapkan pada sekian banyak norma-norma
yang saling berlainan dan saling berlawanan, maka individu-individu warga masyarakat
lalu silit menyimpulkan adanya sesuatu gambaran sistem yang tertib, konsisten,
dan konsekuen. Pelanggaran atas norma yang satu (demi kepentingan pribadi)
sering kali malahan terpuji sebagai konformitas yang konsekuen pada norma yang
lainnya. Maka, dalam keadaan demikian itu, jelas bahwa masyarakat tidak akan
mungkin mengharapkan dapat terselenggaranya kontrol sosial secara efektif.
4. Besar-Kecilnya dan Bersifat
Anomie-Tidaknya Kelompok Masyarakat yang Bersangkutan
Semakin besar suatu kelompok masyarakat,
semakin sukarlah orang saling mengidentifikasi dan saling mengenali sesama
warga kelompok. Sehingga, dengan bersembunyi di balik keadaan anomie (keadaan
tak bisa saling mengenal), samakin bebaslah individu-individu untuk berbuat
“semaunya”, dan kontrol sosialpun akan lumpuh tanpa daya.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
Hal demikian itu dapat dibandingkan dengan apa yang terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif yang kecil-kecil, di mana segala interaksi sosial lebih bersifat langsung dan face-to-face. Tanpa bisa bersembunyi di balik sesuatu anomie, dan tanpa bisa sedikit pun memanipulasi situasi heterogenitas norma, maka warga masayarakat di dalam masyarakat-masyarakat yang kecil-primitif itu hampir-hampir tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari kontrol sosial. Itulah sebabnya maka kontrol sosial di masyarakat primitif itu selalu terasa amat kuatnya, sampai-sampai suatu kontrol sosial yang informal sifatnya-seperti ejekan dan sindiran-itu pun sudah cukup kuat untuk menekan individu-individu agar tetap memerhatikan apa yang telah terlazim dan diharuskan.
5. Toleran-Tidaknya Sikap Petugas Kontrol
Sosial Terhadap Pelanggaran yang Terjadi
Sering kali kontrol sosial tidak dapat
terlaksana secara penuh dan konsekuen, bukan kondisi-kondisi objektif yang
tidak memungkinkan, melainkan karena sikap toleran (menenggang) agen-agen
kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Mengambil sikap
toleran, pelaksana kontrol sosial itu sering membiarkan begitu saja sementara
pelanggar norma lepas dari sanksiyang seharusnya dijatuhkan.
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
Adapun toleransi pelaksana-pelaksana kontrol sosial terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi umumnya tergantung pada faktor-faktor sebagai berikut :
a. Ekstrim-tidaknya
pelanggaran norma itu;
b. Keadaan
situasi sosial pada ketika pelanggaran norma itu terjadi;
c. Status
dan reputasi individu yang ternyata melakukan pelanggaran; dan
d. Asasi-tidaknya
nilai moral-yang terkandung di dalam norma-yang terlanggar.
Kontrol atau pengendalian sosial mengacu
kepada berbagai alat yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk
mengembalikan anggota-anggota yang kepala batu ke dalam relnya. Tidak ada
masyarakat yang bisa berjalan tanpa adanya kontrol sosial.
Bentuk kontrol sosial atau cara-cara
pemaksaan konformitas relatif beragam. Cara pengendalian masyarakat dapat
dijalankan dengan cara persuasif atau dengan cara koersif. Cara persuasif
terjadi apabila pengendalian sosial ditekankan pada usaha untuk mengajak atau
membimbing, sedangkan cara koersif tekanan diletakkan pada kekeraan atau
ancaman dengan mempergunakan atau mengandalkan kekuatan fisik. Menurut Soekanto
(1981;42) cara mana yang lebih baik senantiasa tergantung pada situasi yang
dihadapi dan tujuan yang hendak dicapai, maupun jangka waktu yang dikehendaki.
Di dalam masyarakat yang makin kompleks dan
modern, usaha penegakan kaidah sosial tidak lagi bisa dilakukan hanya dengan
mengandalkan kesadaran warga masyarakat atau pada rasa sungkan warga masyarakat
itu sendiri. Usaha penegakan kaidah sosial di dalam masyarakat yang makin
modern, tak pelak harus dilakukan dan dibantu oleh kehadiran aparat petugas
kontrol sosial.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
Di dalam berbagai masyarakat, beberapa aparat petugas kontrol sosial yang lazim dikenal adalah aparat kepolisian, pengadilan, sekolah, lembaga keagamaan, adat, tokoh masyarakat-seperti kiai-pendeta-tokoh yang dituakan, dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment